PARADIGMA PROFETIK
PEMBARUAN BASIS EPISTEMOLOGI ILMU HUKUM
Diampu oleh : Dr Kelik Wardiono SH,
MH
Oleh : R e z i
R100170013
A. Asumsi dan model dari basis
epistemologi paradigma profetik yang di tawarkan oleh Kuntowijoyo
1.
Profetik: Tawaran Kuntowijoyo
IImu sosial profetik
yang digagas Kuntowijoyo, pada dasarnya merupakan bagian dari sebuah gerakan
yang ingin merekonstruksi ulang bangunan dari ilmu pengetahuan, yang selama ini
didominasi oleh ilmu pengetahuan dari Barat yang berbasis tradisi filsafat
yunani melalui strategi mengintegrasikan antara ilrnu dan agama,
mengintegrasikan antara nalar dan iman, mengintegrasikan antara akal dan
hati. Meskipun di dalam alur sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan di barat, terdapat dialekik yang saling
memarginalkan bahkan saling membungkam antara Ilmu dan agama, akan tetapi
dititik tertentu terlihat pula, upaya-upaya untuk mengintegrasikan antara
keduanya, hal ini terlihat dar munculnya aliran filsafat skolastik.
2.
Basis Epistemologi Paradigma Profetik dari Kuntowijoyo
a. Asumsi-asumsi Paradigma Profetik dari
Kuntowijoyo
1)
Asumsi Ontologis
i.
Hakekat
ada (Hakekat Obyek Ilmu)
Berdasarkan rujukannya pada Muhammad Iqbal,
Kuntowijoyo menyatakan bahwa Al-Quran mengisyaratkan adanya dua kategori ilmu
dalam konteks hubungannya dengan manusia, yakni ilmu-ilmu alam (Kauniyah) ilmu
humaniora (Nafsiyah), di luar dua hal ini adalah ilmu yang berhubungan dengan
Tuhan, yaitu ilmu-ilmu ketuhanan (Qauliah) dan ilmu-ilmu strukur luaran atau
material dan ilmu-ilmu teologis adalah hukum-hukum Allah, termasuk di dalamnya
cara-cara mengenalnya dan adab-adab dalam ritus dan berdoa.
Strukur luaran dari ilmu-ilmu kealaman adalah
hukum-hukum alam yang nyata dan dapat diresapi melalui tindakan-tindakan
manusia yang berada dalam ruang-waktu, sementara hasil luaran ilmu-ilmu
sosial-humaniora berkaitan dengan makna, nilai dan kesadaran. Sehingga
demikian, berbeda dengan para ilmuwan dan ahli tafsir sebelumnya, yang membagi
ayat Al-Quran hanya ke dalam dua bagian yaitu kauniyah dan qauliyah.
Kuntowijoyo menambahkan ayat nafsiyah ke dalam bagian ilmu-ilmu tersebut.
ii. Sumber 'ada’ (Sumber Objek Ilmu)
Ilmu sosial profetik, menurut Kuntowijoyo, akan
dilakukan reorientasi terhadap, yaitu epistemologi terhadap dan mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari
rasio dan empiris, tetapi juga Wahyu. Didalam Islam, Wahyu berfungsi sebagai
petunjuk bagi manusia untuk dapat menjalankan kehidupan yang benar secara
total. Sehingga pada pokoknya sumber ‘ada’ dalam paradigma profetik adalah:
Wahyu, akal, hati dan indra.
2)
Asumsi Epistemologi
i.
Cara
Memahami dan Mengembangkan Objek Ilmu
Ilmu
sosial profetik, bagi Kuntowijoyo pada dasarnya juga merupakan ilmu sosial
transformatif, yaitu ilmu yang didasarkan pada hasil “elaborasi ajaran-ajaran
agama ke dalam bentuk suatu sosial”. Sasaran utamanya adalah “rekayasa untuk transformasi
sosial. Oleh karena itu ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normative yang
permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris,
historis dan temporal. Ilmu sosial transformatif, “tidak berhenti hanya untuk
menjelaskan fenomena sosial namun juga berupaya untuk mentrasformasikannya.
Ilmu
sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan tetapi mengubah
berdasarkan cita etik profetik. Untuk itu Kutowijoyo melakukan rekonstruksi
epistemologi dengan mendasarkan pada pendekatan sintetik dan analitik. Melalui
pendekatan sintetik, wahyu selain akan berperan sebagai unsur pembentuk nilai
(transformasi psikologis)' juga sebagai unsur pembentuk konstruk teoretis, yang
akan menjadi dasar untuk mengoperasionalisasikan konsep-konsep normative
menjadi objektif dan empiris. Melalui pendekatan analitik, terutama dengan mendasarkan
pada metode structural transendetantal, akan mentransendensikan makna tekstual (wahyu)
dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya, sehingga akan sesuai
dengan konteks kekinian dan kedisinian. Dengan motede ini maka ilmu tidak hanya
akan mempunyai kemampuan untuk menjelaskan dan mengubah fenomena sosial,
melainkan juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa,
dan oleh siapa.
ii.
Validasi
kebenaran
Menurut
Kuntowijoyo, ada tiga sumber pengetahuan, yaitu Wahyu, realitas empiris dan
rasio dalam sosiologi profetik haruslah diletakkan secara dialektis, karena itu
Wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Validitas dalam paradigma profetik
tidaklah bersifat hierarkis, tetapi alternatif-saling mendukung antara realitas
empiris, realitas ideal dan wahyu.
3.
Asumsi Aksiologi
i.
Sumber
nilai dalam menentukan manfaat ilmu bagi manusia
Ada 4 hal yang tersirat dalam QS Ali
Imran: 110 tentang etika profetik. Etika profetik merupakan pelaksanaan secara
integral dari (1) ta’muruna bil ma’ruf = menyuruh/mengajak kepada kebaikan; menganjurkan
atau menegakkan kebajikan (humansime); (2) tanhauna’anil munkar = Mencegah dari
yang mungkar (liberasi) dan; (3) tu’minu billah = beriman kepada Allah. Kunto
menyebutnya menjadi humanisme, liberasi dan transendendi, Etika profetik inilah
sebagai sumber nilai dalam menentukan manfaat ilmu bagi manusia.
ii.
Manfaat
ilmu bagi manusia
Keabadian Islam bagi
Kuntowijoyo justru berarti perubahan yang permanen. Permanesasi itu menurut
Islam harus disertai dengan citarasa mengenai tujuan (a sense of goal), yaitu
semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi. Islam menghendaki adanya transformasi
menuju transendensi. Tujuan pendidikan adalah pengenalan dan pengakuan yang diajarkan
secara progresif kepada manusia, mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu
dalam tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan dan pengakuan tempat yang patut
bagi Allah SWT dalam tatanan wujud dan eksistensi.
Dengan demikian pendidikan
lebih ditujukan kepada manusia, agar manusia dapat memiliki dan meningkatkan
ketaqwaannya. Karena ketaqwaan seseorang pada dasarnya harus diawali dengan ilmu,
agar ia dapat mengetahui dengan baik dan benar amalan-amalan apa yang harus dilakukan
agar ia dapat memiliki dan meningkatkatkan ketaqwaannya tersebut. Dengan demikian
dapatlah dipahami bahwa salah satu tujuan akhir dari pendidikan dalam islam adalah
pengenalan kepada Allah dalam arti hakiki, sehingga ia menyadari dengan sunguh-sungguh
posisinya dan posisi segala sesuatu dalam alam semesta serta posisi tuhannya.
B) Asumsi dan Model dari Basis epistemologi
paradigma profetik dalam ilmu hukum
1) Asumsi Ontologis
Dalam
konteks ilrnu hukum, maka dapatlah dipahami bahwa norma hukum (obyek Ilmu
hukum) sebagai bagian dari ayat-ayat (tanda) Tuhan Sang Pencipta Ayat-ayat
Allah yang tersirat dan terkandung dalam cipaan Nya dan dapat diketahui oleh
manusia, dipandang sebagai eksistensi kontigen, yang nampak dalam multiplisitas
fenomena, dan bersifat relatif. Norma hukum merupakan fenomena yang berdialektik
antara dunia normatif relatif yang berada di dunia norma, dengan dunia ide dan
dunia empiris secara simultan. Dengan merujuk pada paradigma rasional dalam
ilmu hukum, maka norma yang menjadi obyek ilnu hukum berkarakter: (a) Norma
hukum sebagai makna tindakan berkehendak (b) Norma hukum, sebagai norma
relative yang berkarakter normatif.
Sumber
“ada” paradigma profetik dalam ilmu hukum adalah norma-norma yang terbentuk
sebagai hasil internalisasi dan objektivasi dari sumber utamanya, yaitu wahyu
yang tertafsir oleh manusia yang berakal (yaitu melalui otak dan qalb (akal
aktifnya) telah terisi oleh pesan-pesan Ilahiah), serta telah terverifikasi
dengan konteks sosialnya. Dengan perkataan lain, sumber ‘ada’ merupakan hasil
dialektik antara wahyu, akal dan indra dalam diri manusia yang qalb-nya telah
terisi oleh pesan-pesan Ilahiah.
(2) Asumsi epistemologi
Paradigma Profetik dalam Ilmu Hukum
Secara
epistemologi, paradigma profetik dalam ilmu hukum mendasarkan pada pandangan
dialektis antara struktur dan super struktur dengan merujuk pada QS.Ali Imron (3);
110. Kuntowijoyo menegaskan pentingnya kesadaran proses dalam sejarah yang
tertambat pada nilai-nilai illahiah (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan adanya
independensi kesadaran yang tertambat pada nilai-nilai illahiah ini, paradigma
profetik dalam ilmu hukum membedakan dirinya dengan paradigma saintisme (sebagaimana
etika materialistis) berpendapat bahwa super sturktur (kesadaran) ditentukan
oleh struktur (basis material). Bagi paradigma super struktur (kesadaran) lah
yang menentukan struktur (basis material), meskipun tetap mengakui adanya
kesadaran material. Bagi paradigma profetik struktur kesadaran manusia tidak
hanya berbentuk sebagai hasil internalisasi dari fenomena (sebagai representasi
wahyu yang terinternalisasi di dalam qalb akal manusia dan terskpresi dalam
nilai nilai), akan tetapi juga hasil dari hasil subyektivikasi dari fenomena.
Hasil dialektik dari supra struktur dan struktur itulah yang kemudian terkekspresi
menjadi aktivitas yang terobyektivikasi. Dengan demkian supra struktur dalam
proses proses sosial, berdialektika melalui proses internalisasi, subyektivikasi,
dan obyektivikasi.
Melalui
humanisasi, liberalisasi, dan transendensi paradigma profetik dalam ilmu hukum
hendak mengaskan posisiya, karakteristik lain dari paradigma profetik adalamh
menjadikan transedensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena
itu, dalam hal ini nilai-nilai religiusitas menjadi bagian yang penting dari
proses membangun peradaban manusia. Paradigma profetik dalam ilmu hukum berdiri
dalam posisi yang berhadap hadapan dengan paradigma rasional (madzhab filsafat
hukum positivistik), dalam pengertian ini paradigma profetik dalam ilmu hukum lebih
dekat dengan teori kritis. Melalui liberalisasi dan humanisasi, paradigma
profetik dalam ilmu hukum, Selaras dengan kepentingan emansipatoris teori
kritis, bahwa keilmuan haruslah dimulai dari realitas karena dari realitaslah
yang merupakan sumber valid dari ilmu.
2) Validitas Kebenaran
Berdasarkan tawaran
dari Kuntowijoyo maka pada paradigma profetik dalam ilmu hukum terdaat tiga
sumber pengetahuan; Wahyu, Realitas, Empiris dan Rasio, yang diletakkan secara
dialektiktis karena itu Wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Wahyu
haruslah senantiasa dipahami dalam relasinya dengan realitas empiris. Realitas
empiris dan wahyu harus berfungsi komplementer dan berhubungan dialektis
selamanya, baik ketika realitas itu tidak terdapat dalam teks wahyu maupun
ketika ia bersebrangan dengan teks wahyu.
c)
Asumsi aksiologi paradigma profetik dalam ilmu hukum
1)
Sumber nilai dalam menentukan manfaat ilmu bagi manusia
Dalam pengembangan ilmu
hukum dan penetapan substansi ilmu hukum harus memperhatikan aspek; pertama humanisme teosentris, manusia memusatkan
diri pada tuhan tapi tujuannya untuk kepentingan manusia. kedua liberasi ilmu hukum bertanggungjawab profetik untuk
membebaskan manusia dari dominasi struktur yang tertindas, ketiga transendensi, yaitu yang mengarahkan pada tujuan hidup
manusia (humanisasi dan liberasi) itu dilakukan.
2)
Manfaat ilmu bagi manusia
Adapun
yang menjadi sasaran utama dari ilmu hukum profetik adalam untuk menjadikan
manusia sebagai ‘insan yang sempurna’ yakni untuk mengasuh, memupuk,
menjelmakan kebaikan yang bermkasud keadilan dalam diri insan sebagai manusia.
Yaitu manusia yang bisa mewujudkan kebaikan untuk dirinya sendiri sebagai manusia
dan memposisikan dirinya secara adil dalam tataran realitas secara keseluruhan
untuk itu manusia harus memperoleh pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya yatitu pengetahuan yang didasarkan pada ‘makna’ yang sesuai dengan
realitas.
Daftar Pustaka
Kelik
Wardiono, 2014, Paradigma Profetik: Pembauran Basis Epistemologi Ilmu Hukum, Yogyakarta:
Genta Publishing.
Categories:
Hukum
0 tanggapan:
Posting Komentar