Saya membaca tulisan Mas Wicaksono di Blog Tempointeraktif posting tanggal 16 Mei 2008 yang mengungkapkan tidak banyak tulisan atau berita yang muncul versi orang yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Menanggapi tulisan tersebut berikut ini pengalaman pribadi saya tentang demo dan kerusuhan Mei 1998.

Demo

Pada bulan Mei 1998 saya masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UNS Solo semester II. Gelombang demonstrasi menuntut Soeharto turun selain di Jakarta dan kota lain juga berkobar di Boulevard UNS. Salah satu orang yang sering berorasi saat demo yang saya ingat adalah Ulin Ni’am Yusron.

Setiap hari mulai sekitar jam 10 hingga sore demo terus berlangsung tiada henti, bahkan pada saat hari Jumat pun sebagian teman-teman solat Jumat di Boulevard dengan anjuran ber tayamum karena tidak memang kran air di sekitar Boulevard, kemudian melanjutkan demo lagi.

Aparat polisi yang menjaga demo harus bekerja keras menghadapi gelombang gerakan mahasiswa. Mulai dorong-dorongan hingga lemparan batu adalah hal yang biasa dan rutin terjadi. Seolah-olah demo tanpa bentrokan tidak afdol.

Saya bukan penggerak demo, cuma terlibat sebagai penonton aktif dan sekali-kali membantu teman-teman yang menyiapkan batu untuk melempari aparat dari belakang. Batu itu sendiri dikumpulkan dari selokan yang ada di sisi timur dan barat Boulevard. Bahkan ada yang nekat membongkar paving yang biasa digunakan untuk pejalan kaki menuju ke dalam kampus.

Pada saat itu opininya adalah kampus adalah mimbar demokrasi sehingga tabu dimasuki oleh polisi. Namun suatu hari demo aparat polisi pernah menyerang mahasiswa kedalam kampus, sehingga para mahasiswa berlarian kocar-kacir, termasuk saya setelah lari kira-kira 50m dibantu oleh teman yang tidak saya kenal menawarkan untuk segera naik motornya karena polisi sudah sangat dekat.

Saya kos di sebelah barat Boulevard sehingga mau tidak mau apabila ingin pulang ke kos saya akan melewati Boulevard yang pada siang atau sore hari sudah di kepung oleh aparat kepolisian. Pernah suatu hari karena demo sudah selesai saya dan teman nekat pulang lewat jalan yang masih dikepung oleh polisi yang sedang beristirahat. Beberapa diantara mereka berteriak untuk menghajar kami karena melihat wajah kami berkeringat.
“ Lha kuwi sing lewat isih kemringet, hayo di hajar wae”. Untungnya teriakan itu tidak direspon oleh teman-teman polisi yang lain.

Kerusuhan

Gelombang demo terus bergerak hingga Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Namun sebelum tanggal 21 Mei terjadi peristiwa kerusuhan yang sangat luar biasa di Solo tepatnya pada tanggal 13-14 Mei 1998.

Pada siang hari tanggal 13 Mei saya pergi ke Jogja menggunakan kereta Prameks dan bermalam di kos
Saherman teman SMU saya yang kuliah di Fisipol UGM. Saya tidak tahu kalau di Solo pada saat itu sudah terjadi penjarahan dan pembakaran toko-toko.

Pada sore hari untuk suatu keperluan kami berjalan menuju kampus UGM, tanpa kami sadari suasana sangat sepi dan tegang, muncul kabar bahwa kampus UGM sudah di kuasai tentara dan kami diminta tidak berjalan terlalu jauh dari kos masing-masing. Kami sempat ketakutan dan bingung dan akhirnya memilih untuk segera pulang meski tidak melihat barisan tentara yang berada di kampus.

Pada siang hari tanggal 14 Mei 1998, saya pulang ke Solo dengan tetap menggunakan Prameks. Dalam perjalanan ada keanehan yang saya rasakan. Kereta penuh sesak, orang berjubel dan sampai susah untuk berjalan. Di sepanjang jalan sisi rel banyak orang bergerombol, duduk dengan raut muka tegang. Memasuki kota Solo sebelum sampai stasiun sudah banyak bangunan yang terbakar. Saya masih belum tahu apa yang terjadi.

Tiba di stasiun Balapan Solo ternyata sudah banyak orang mengantre berdesakan persis di sisi rel untuk naik kereta yang akan menuju Jogja kembali. Ini keanehan kedua yang saya ketahui. Setelah turun dan berada di gerbang stasiun seperti biasa saya menunggu bis yang lewat untuk melanjutkan perjalanan menuju kampus UNS di Kentingan.

Setelah lama menunggu tidak ada satu pun bis yang lewat, bahkan sempat Pak Becak emosi karena saya tidak mau naik becaknya padahal dia sudah berulang kali mengatakan bis tidak ada yang berani jalan karena ada kerusuhan.

Saya tidak langsung percaya, hingga akhirnya memutuskan berjalan kaki dari stasiun Balapan sampai perempatan (bang-jo) dekat SD Margoyudan. Karena tidak ada bis yang lewat saya memutuskan naik becak sampai perempatan Panggung. Sebelum tanggul sudah ada rumah makan yang terbakar. Di perempatan Panggung ada tentara dan tank yang siaga penuh, terpasang juga kawat berduri yang panjang, gedung disekitar Panggung sudah hangus, sisa-sisa ban yang terbakar dan ada yang belum padam.

Setelah sampai Panggung saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga tiba di kos dekat kampus UNS. Beberapa gedung pertokoan di sepanjang jalan Kol Sutarto dan Ir Sutami juga bayak yang terbakar. Setelah sampai di kos ternyata ada teman saya sempat menjarah satu karung gula dari toko yang diserbu massa.

Saya memang tidak menyaksikan langsung proses penjarahan, gerakan massa dan pembakaran gedung karena siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut memang sudah selesai.

Keesokan harinya saya berkeliling kota, banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa.

Itulah sebagian pengalaman yang masih ada dalam memori saya tentang demo dan kerusuhan Mei 1998 di kota Solo.

2 tanggapan:

Sebenarnya demo itu tidak perlu kumpul dan lempar batu sih mas...he he he...tapi maklum deh jiwa muda gampang terbakar.

Sebenarnya demo itu berguna untuk memperkeras suara, tapi seringkali akhirnya merusak barang. Kalau yang rusak barang umum milik negara toh anggaran pemerintah juga yang keluar lagi, dan bisa jadi bisa menambah jatah proyek orang yang didemo...

Terima kasih mb.. saya juga setuju kalo demo ga pake lempar batu...
kalo dulu pas demo lucu aja kalo diam karena yang lain pada sibuk bantuin... hehe ntar keliatan bengong donk

tapi demo tetap sarana yang efektif menyampaikan aspirasi ..